Orang kaya baru itu sudah berdiri di tubir jembatan. Dia merentangkan tangan serupa sayap burung merpati. Dia pejamkan mata. Dia rasakan angin laut yang berhembus ke daratan pelabuhan Batang Arau. Dia rasakan sensasi udara yang menyapu pelipisnya, perlaha merayap ke pangkal telinga. Kemudian berlalu begitu saja jauh ke hulu. Dia merasa tiba-tiba dadanya menjadi begitu lapang. Sekali lagi dia hirup udara dalam-dalam, dia hembuskan perlahan. Betul saja, sekali lagi dia merasakan dadanya seperti merenggang. Sekarang dia tersenyum.
Dia merasa heran. Sudah lama dia tidak merasakan dadanya yang begitu lapang. Dia lupa terakhir kali, kapan dia benar-benar pernah tersenyum tanpa beban. berpuluh tahun dia sudah menggeluti bisnisnya. Bisnis bidang yang membuat hari dia menjadi orang kaya baru. Bisnis yang membuat dia seperti selalu kehabisan waktu setiap pulang dari kantor dan bangun esok harinya.
Sekarang dia benar-benar berteriak dengan sekencang-kencangnya. Kendaraan yang lalu-lalang benar-benar tidak begitu peduli dengan apa yang terjadi dengan Orang Kaya Baru itu. Beberapa sempat menoleh ke belakang, kemudian berlalu begitu saja. Orang Kaya Baru itu enggak menghiraukan. Dia enggak menatap orang-orang lewat itu. Dia masih memejamkan mata. Sesaat kemudian setelah membuka mata, sekarang dia seperti melihat detail bangunan-bangunan tua peninggalan belanda dengan penuh seksama. Seolah dia baru pertama kali melihat bangunan itu berdiri di sana. Kapal-kapal yang bertambat di pelabuhan menarik perhatiannya. Dia kagum sendiri dengan apa yang dia saksikan sekarang.
Kapal-kapal itu sudah berpuluh-puluh tahun bertambat di sana. Rusak kapal lama, datang kapal yang baru. Semakin hari semakin bertambah jumlah dan ragamnya. Suasana di pelabuhan Batang Arau mengisi relung hati Orang Kaya Baru. Seolah itu pertama kali dia melihat kapal-kapal itu di sana. Dunia sekarang benar-benar menjadi milik Orang Kaya Baru itu di hatinya. Dia bergumam tanpa suara. Kemudian turun dari tubir jembatan.
“Sekarang aku mengerti,” ujar Orang Kaya Baru, dia bersandar ke pagar pembatas jembatan. Pipa-pipa besi yang sambung-bersambung itu terasa dingin di telapak tangan Orang Kaya Baru itu. Jauh di bawah jembatan ikan-ikan kecil memperebutkan roti yang baru saja dilemparkan Pengemis Cekung. Pengemis Cekung menoleh ke Orang Kaya Baru, menyodorkan roti. Sesaat roti itu berpindah ke Orang Kaya Baru.
“Apa yang Saudara pahami? Sesaat yang lalu Saudara masih saja hendak terjun bebas ke sungai Batang Arau itu.”
“Jangan mengejek saya.” Orang Kaya Baru melontarkan roti. Suara gemericik air sama sekali tidak terdengar. Dia kemudian meraih tangan Pengemis Cekung. “Terimakasih Saudara sudah mengajarkan saya sesuatu yang amat berharga dalam hidup saya. Sungguh saya benar-benar beruntung bertemu Saudara. Kalau saja Saudara tidak ada di sini, entahlah, barangkali sekarang saya sudah tidak di dunia ini.” Dia genggam erat-reat tangan pengemis cekung.
Pengemis itu perlahan menarik tangan, kemudian menepuk santai punggung Orang Kaya Baru. Lampu-lampu jalan di atas Jembatan Sitinurbaya membentuk siluet panjang. Kala malam lampu bundar warna-warni benar-benar memesona. Seekor anjing liar di bawah jembatan yang di bawah melintang jalan dari Pantai Muaro ke arah Pondok, mengibar-ngibaskan ekornya mengganggu katak yang terdampar di pinggir sungai.
“Bukan saya yang membantu Saudara,” ujar Pengemis Cekung itu.
“Perkataan-perkataan Saudara benar-benar menyelamatkan saya,” ujar Orang Kaya Baru.
“Saudara sendiri yang menyelamat diri Saudara. Apa yang saya katakan benar adanya. Setiap diri selalu mengambil peran memutuskan sesuatu, terlepas dari baik dan buruknya. Saudara sekarang sudah mengambil keputusan penting terhadap diri Saudara sendiri. Orang lain, saya, atau siapa pun itu, hanya ada pada posisi mempengaruhi dan itu bukan mengambil keputusan.”