Mimo, lama sudah aku belum lagi berkabar dengan dirimu di Cempaka Putih. Pandemi sudah mencampakkanku ke kampung asal. Empat tahun sudah aku belum lagi menapaki Betawi. Dan kini aku lagi-lagi hanya mampu menyapamu lewat bahasa tutur yang aku tuliskan. Semoga lekas bertemu lagi. Dan rasa kangenku terhadapmu terobati seperti api yang bertemu sumbu lampu, menyala dan bersinar.
Kali ini aku bakal bertutur kepadamu tentang persoalan gizi di negeri yang subur. Orang bilang, kita campakkan saja pokok ubi di pinggir jalan, tumbuh juga dia. Berbuah juga dia. Tapi tetap saja ada begitu banyak anak-anak yang kekurangan gizi. Ironis bukan.
Kau apa juga kekurangan gizi di Cempaka Putih. Aku enggak percaya kau kekurangan gizi di sana. Ada begitu banyak tikut-tikus got sebesar dirimu di sana. Masa iya engkau sebagai kucing kampung bertubuh gempal sudah kehilangan nafsu pula berburu tikus-tikus got. Lemah betul kau sebagai seekor kucing kampung yang terkenal cekatan, bengis, pemalas ketika hujan turun di langit Jakarta.
Kau tahulah ya Mimo. Sumbar daerahnya subur dan menakjubkan. Kalau ingin mencari surganya dunia pergi saja ke Sumbar, bakal kau temukan bentangan alam, bukit, lembah, yang subur sepanjang tahun. Curah hujan termasuk curah hujan terutin dan terbanyak untuk daerah Indonesia tercinta. Tapi kau harus tahu juga Mimo di daerah paling subur ini juga begitu banyak khasus-khasus gizi buruk. Kalau tidak ingin disebut gizi buruk, boleh dikata kekurangan gizi. Enggak ingin juga disebut kekurangan gizi berarti itu ‘bala’ namanya.
Dahulu di kampung orang suka melakukan ritual ‘tulak bala’. Orang mengusir bala atau penyakit dengan jenis ritual tertentu dan siraman air tertentu. Sepanjang kampung orang-orang melakukan arakan dengan membawa sesajen, jenis tanaman obat yang dibacakan bacaan-bacaaan tertentu, kemudian ditutup dengan pembacaan doa di pandam pakuburan bersama,
Menyebut kata bala untuk menyentil stunting di negeri sendiri masuk kategori sarkas, Mimo. Hanya ini salah satu cara mengungkapkan kondisi gizi di negeri sendiri Mimo. Penyebabnya bukan karena enggak makan saja, Mimo.
Bersama YAICI kita sempat mengobrolkan panjang lebar tentang penyebab stunting ini, Mimo. Penyebab utama dari persoalan gizi salah satunya disebabkan polah asuh oleh keluarga. Entah itu karena kekurangan pengetahuan orang tua terhadap gizi atau karena negara kita membiarkan perusahaan tertentu mempengaruhi para orang tua bahwa barang jualan mereka bagus untuk balita. Ngeri kan Mimo. Ih, iya donk, ngeri.
Sebagai kucing apakah Mak mu dahulu menyusuimu selama dua tahun berturut-turut dahulu Mimo. Sebab itu badanmu jadi gembul. Kaki-kakimu berotot. Hanya otakmu saja terkadang kurang waras, hingga lebih banyak tidur dan makan.
Kita ngobrol santai di cafe Kubik, Padang, berjarak 700 meter ke tepi Pantai Samudera Hindia. Rekan-rekan dari YAICI Uni lini, Mbak Yulis, Mas Arif Hidayat, memaparkan tentang betapa literasi kita tentang gizi begitu jauh dari harapan. Orang kita bilang jauh panggang dari api. Mereka juga memaparkan banyak orang tua yang larut dan lupa dengan susu yang dikonsumsi para balita. Para orang tua terlalu banyak memberikan gula kepada balita dan bayi. Mereka anggap itu susu padahal itu gula.
Kamu juga baru tahu kan, Mimo! Ya banyak di antara kita yang benar-benar lupa literasi gizi. Enggak sadar bahwa selama televisi, radio, iklan baliho sudah mengopok kita bahwa gula yang dikemas dengan atas nama susu ternyata sudah konsumsi dalam waktu yang berlarut-larut. Jangan salahkan pada akhirnya keturunan anak-anak bangsa ini banyak bermasalah dengan kesehatannya setelah dewasa. Ini komplikasi dari pengkonsumsi gula dalam jangka waktu yang panjang. Begitu saja dulu mimo. Terimakasih.[]