Seperti panas yang turun ke bumi beberapa bulan terakhir, diselingi hujan sesekali seumpama buah matang yang memencil hanya sebiji, aku bertamu untuk ketiga kalinya ke Kinclong Car Wash dan bertemu dia lagi. Dia seumpang buah matang yang turun di Simpang Enam. Bergaun yang sama dengan balutan kemeja cream muda dan celana hitam.
“Bapakkk!” Sapaan dan senyuman seulas dari dia membuat saya tertegun sejenak di dalam pintu cafe Dari Hati. Senyuman yang mampu membuata hati saya riang sejenak di pagi yang sudah mulai terasa terik ini. Acha mengambil posisi berdiri di depanku, menyambutku dengan hangat. Saya menyambut senyuman itu dengan senyuman lebih lebar. Dia mempersilahkan aku masuk.
Senyuman itu jelas mengutarakan bahwa dia mengingat dengan baik pertemuan pertama kali kami di cafe yang sama. Padahal pertemuan sudah berlalu satu bulan yang lalu, saat saya datang ke Kinclong Car Wash hendak mencuci mobil. Wajah riang untuk disembunyikan di wajah. Wajah riang mengandung emosi tertentu yang tanpa harus diutarakan saya mampu merasakan.
Sudah menjadi kebiasaan saya untuk setiap pertemuan bercangkrama dengan orang baru. Meski hanyak untuk sekedar untuk menanyakan nama dan kabar dan berbagi senyuman setulus mungkin. Pertemuan dengan cengkrama yang hangat membuat selalu berkesan di hati. Saya bertanya nama dan kabar dengan Acha. Juga bercerita seputar kampus dan orang mana.
“Sehat selalu, Acha!”
“Sehat, Pak. Bapak gimana?”
“Sama. Sehat selalu juga.”
[]