Dari Bandara Kualanamu, di antara sela-sela mata yang mengantuk, bakal aku ceritakan kepadamu tentang matahari yang terbit di timur, di antara sela-sela kebun kopi Kayu Aro yang dibina Aqua Danone. Dini hari aku baru saja mendaratkan kaki di Kualanamu setelah bertolak dari Balige dengan sedikit perasaan dongkol yang masih tersisa. Jam di layar handphone menunjukkan pukul 4 lewat 45 menit. Perjalanan kali ini hanya di tempuh 4 jam 15 menit. Perjalanan yang lebih cepat dari biasanya. waktu normal jarak tempuh 5-6 jam, setidaknya begitu informasi yang aku peroleh di Balige.
“Lae, nanti di waktu subuh kita berhenti sejenak di perjalanan ya Lae?”
“Nanti kita sampai lebih cepat, Bang. Abang penumpang terakhir yang kita jemput. Abang sempat subuh di bandara.” Driver utama dari penyedia jasa transportasi online andalan di Balige menyilahkan saya memasukkan barang ke bagasi belakang. Perjalanan dimulai. Kantuk tiba. Perasaan sedikit dongkol terhadap perjalanan yang menurut saya sedikit kurang ramah itu, berlalu bersama-sama kunang-kunanga yang hinggap di mataku. Dan kini aku sudah berdiri di Ruang Tunggu Balige, perasaan dongkol yang sedikit itu muncul kemali.
Ya, tapi sudah lah. Kali ini aku hanya hendak membahas matahari yang terbit di timur, di antara sela-sela kopi orang Kayu Aro binaan #aquadanone. Matahari yang menyinari harapan yang tersisa di mata para petani kopi Kayu Aro. Matahari setiap pintu dan jendela yang menghadap ke timur. Cahaya itu berkelebat melintasi setiap kaki Gunung Talang.
***
Pagi yang perawan merambat pelan di Kaki Gunung Talang. Dingin yang ngilu memeluk dan menciumku dengan cumbu yang hangat. Aku bersama rombongan sampai di lokasi pertanian kopi Kayu Aro. Selesai menuntaskan minum kopi di salah satu kedai kopi di Batang Barus kini di sinilah aku berada, di antara kelompok tani Kopi Kayu Aro. Senyum-senyum yang hangat menyambut kami. Tidak kurang dari 15 orang menyambut kami. Dan itu terus bertambah. Mereka terdiri dari kelompok tani kopi binaan #aquadanone, toko masyarakat setempat, dan warga tempatan.
“Saya sudah menanam kopi semenjak tahun 1975. Dahulu banyak orang yang menanam kopi di Batang Barus ini. Harga mahal kopi mahal. Gampang sekali membeli emas dari hasil menjual kopi.” Mak Hanifar Sari Marajo, orang lama Batang Barus, penanam kopi Arabika dari kaki Gunung Talang. Lelaki 74 tahun itu matanya berbinar-binar mengutarakan bagaimana dia dahulu bersinar menjadi orang kaya lama bertanam kopi.
“Ke mana bapak menjual kopi di masa itu?” Menjual kopi di masa orde baru tentu bukanlah seleluasa hari petani menjual kopi. Akses yang terbatas menjadi salah satu hambata. Pelihan menjual kopi kalau tidak ke pasar tradisional, maka jatuh pilihan ke tengkulak.
“Setiap minggu bakal selalu ada pengumpul kopi yang datang. Baru saja panen langsung habis. Kalau di hari pekan kopi saya bawa ke pasar. Tapi biasanya lebih sering pengumpul yang datang menjemput.”
Menurut penuturan Mak Hanifar Sari Marajo, harga kopi yang mahal membuat orang-orang berbondong menanam kopi. Sangat mudah membeli emas dari menanam kopi, ini tentu bukan ucapan yang kaleng-kaleng. Saking mudahnya harga satu kilogram kopi lebih mahal dari harga satu gram empas. Wow.
Sekarang Mak Hanifar Sari Marajo sudah tidak menanam kopi lagi.
“Kita serahkan kepada yang muda-muda.”
Mak Hanifar Sari Marajo tokoh adat sekaligus tokoh masyarakat yang mendampingi petani kopi Kayu Aro. Sekarang Kopi Kayu Aro mulai menggeliat. Bibit yang ditanam fokus ke kopi Robusta. Robusta memang tipe kopi yang dalam hitungan 1 sampai 2 tahun sudah bisa berbuah. Perawatannya mudah. Hasil buahnya lebih lebat. Keputusan bergotong royong menanam kopi ini dibina oleh Aqua Danone bersama Human Initiative.
Sekarang Kopi Kayu Aro sudah membuahkan hasil. Setiap bulannya hasil panen kopi Kayu Aro sudah dapat dinikmati. Menariknya selain bertanam kopi di sini juga sudah disediakan pengolahan kopi mulai b